Makalah Penyaluran Zakat Untuk Pembugaran Masjid

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Zakat merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang digunakan untuk membantu masyarakat lain, menstabilkan ekonomi masyarakat dari kalangan bawah hingga kalangan atas, sehingga dengan adanya zakat umat Islam tidak ada yang tertindas karena zakat dapat menghilangkan jarak antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, zakat sebagai salah satu instrumen negara dan juga sebuah tawaran solusi untuk membangkitkan bangsa dari keterpurukan. Zakat  juga sebuah ibadah mahdhah yang diwajibkan bagi orang-orang Islam, namun diperuntukan bagi kepentingan seluruh masyarakat.
Zakat merupakan bagian penting dalam kehidupan umat Islam. Bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq orang-orang yang enggan berzakat diperangi sampai mereka mau berzakat. Itu karena kewajiban berzakat sama dengan kewajiban mendirikan sholat.
Zakat merupakan suatu ibadah yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat sehingga dengan adanya zakat (baik zakat fitrah maupun zakat maal) kita dapat mempererat tali silaturahmi dengan sesama umat Islam maupun dengan umat lain.

B.   Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Zakat?
2.    Siapa sajakah golongan yang berhak menerima zakat menurut 4 madzhab?
3.    Bagaimana hukum penyaluran zakat untuk pembangunan dan pemugaran masjid?
4.   Apa saja hikmah dan manfaat zakat?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian zakat
2.    Untuk mengetahui orang yang berhak menerima zakat
3.    Untuk mengetahui hukum penyaluran zakat untuk pembangunan masjid
4.    Untuk mengetahui hikmah dan manfaat zakat





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu (keberkahan), al-namma (pertumbuhan), ath-thaharu (kesucian), dan ash-sholahu (keberesan). Sedangkan secara istilah, zakat adalah bagian dari harta yang wajib di keluarkan oleh seorang muslim yang di serahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan syaarat-syarat tertentu.[1]
Menurut Al-Mawardi zakat adalah nama bagi pengambilan tertentu dari harta yang tertentu menurut sifat-sifat yang tertentu untuk di berikan kepada golongan yang tertentu. Sedangkan menurut Asy-Syaukani, zakat adalah memberi suatu bagian dari harta yang sudah sampai nishab kepada orang fakir dan sebagainya, yang tidak bersifat dengan sesuatu halangan syara’ yang tidak membolehkan kita memberikan kepadanya.
Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya  al-Fiqh al-Islamiwa Adillatuh  mengungkapkan beberapa definisi zakat menurut para ulama madzhab:[2]
1.    Menurut Malikiyah, zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang telah mencapai nishabnya untuk yang berhak menerimanya, jika milik sempurna dan mencapai haul  selain barang tambang, tanaman dan rikaz.
2.    Menurut Hanafiyah, zakat adalah kepemilikan bagian harta tertentu dari harta tertentu  untuk pihak tertentu yang telah di tentukan oleh syari’(Allah swt) untuk mengharapkan keridhaan-Nya.
3.    Menurut Syafi’iyah, zakat adalah nama bagi sesuatu yang dikeluarkan dari harta dan badan dengan cara tertentu.
4.    Menurut Hanafiah, zakat adalah hak yang wajib dalam harta terntentu untuk kelompok tertentu pada waktu tertentu.

B.  Golongan Orang yang Berhak Menerima Zakat
Zakat māl (emas, perak, dagangan, hewan, biji-bijian, buah-buahan dan hasil tambang) dan zakat fitrah, harus diberikan kepada golongan yang berhak menerima zakat yang termaktub dan dijelaskan dalam firman Allah swt dalam surat at-Taubah ayat 60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة : 60)
Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat (amil), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk orang-orang yang menuju jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui dan bijaksana.” (QS at-Taubah : 60)
Pendapat para ulama empat madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hambali tentang tata cara dan pengelompokan dalam membagi dan menerima zakat adalah sebagai berikut:[3]
1.    Imam Hanafi
Mustahiq zakat adalah orang yang secara syara‘ berhak menerima zakat, yaitu:
a.    Fakir, yaitu orang yang memiliki harta kurang dari satu nishōb, atau memiliki satu nishōb tapi masih mempunyai tanggungan, seperti hutang.
b.    Miskin, yaitu orang yang tidak memiliki harta benda sama sekali, sedangkan biaya makan dan untuk mencukupi kebutuhan lain dihasilkan dari semisal minta-minta.
c.    ‘Amil, yaitu orang yang diangkat oleh pejabat pemerintah resmi seperti presiden atau bawahannya, untuk mengurusi zakat.
d.   Mu’allaf, yaitu orang yang baru masuk islam, sedangkan imannya masih lemah. Mu’allaf menurut imam Hanafi gugur dari golongan mustahiq zakat, karena tujuan mu’allaf diberi zakat supaya islam kuat, sedangkan sekarang islam sudah kuat. Jadi, mu’allaf dapat menerima zakat, jika pada wilayah tersebut situasi dan kondisi islam belum kuat.
e.    Riqob, yaitu budak yang telah menerima akad kitābah (dimerdekakan dengan cara membayar cicilan yang telah disepakati oleh budak dan majikannya). Supaya dapat membayar cicilan tersebut, maka ia berhak menerima zakat.
f.     Ghorim, orang yang mempunyai hutang yang jika hartanya digunakan untuk membayar hutang tersebut, niscaya sisa dari hartanya akan kurang dari satu nishōb.
g.    Sabilillah, yaitu orang yang fakir karena hidupnya hanya untuk berperang membela agamanya Allah swt.
h.    Ibnu Sabīl, yaitu orang yang sedang bepergian dan kehabisan bekal.
2.    Imam Malik
a.    Fakir, yaitu orang yang memiliki harta yang tidak cukup untuk biaya hidup selama satu tahun, meskipun dia memiliki harta satu nishōb.
b.    Miskin, yaitu orang yang tidak memiliki harta benda sama sekali.
c.    Mu’allaf, yaitu satu atau dua orang yang baru masuk islam, sedangkan imannya masih lemah.
d.   Amil, yaitu orang yang diangkat oleh pejabat resmi daerah setempat untuk mengurusi zakat.
e.    Riqōb, yaitu budak yang dibeli dengan harta zakat untuk dimerdekakan.
f.     Ghōrim, yaitu orang yang memiliki hutang dan tidak punya harta untuk membayarnya.
g.    Sabīlillāh, yaitu orang yang perang membela agama Allah swt.
h.    Ibnu Sabīl, yaitu musafir yang kehabisan bekal untuk dapat sampai tujuan dan pulang ke rumah.
3.    Imam Syafi‘i
a.    Fakir, yaitu orang yang tidak punya harta dan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhannya. Contoh: Orang yang memiliki uang Rp. 4.000 sedangkan kebutuhannya satu hari satu malam Rp. 10.000.
b.    Miskin, yaitu orang yang mempunyai harta atau pekerjaan, tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Contoh: Orang yang memiliki uang Rp. 7.500 sedangkan kebutuhannya satu hari satu malam Rp. 10.000.
c.    ‘Amil, yaitu orang yang diangkat oleh pejabat resmi daerah setempat untuk mengurusi zakat.
d.   Mu’allaf, yaitu orang yang baru masuk islam dan imanya masih lemah.
e.    Riqōb, yaitu budak yang telah menerima akad kitābah (dimerdekakan dengan cara membayar cicilan yang telah disepakati oleh pihak budak dan majikannya).
f.     Ghōrim, yang orang yang mempunyai hutang untuk kebutuhan pribadi atau kepentingan umum yang tidak dilarang agama.
g.    Sabīlillāh, yang orang yang perang membela agama Allah swt.
h.    Ibnu Sabīl, yang orang yang sedang bepergian dan kehabisan bekal.
4.    Imam Hambali
a.    Fakir, yaitu orang yang tidak mempunyai harta sama sekali, atau punya harta tapi tidak mencapai separuh dari kebutuhannya, seperti setiap hari butuh Rp10.000, namun penghasilannya hanya Rp3.500 perhari.
b.    Miskin, yaitu orang yang mempunyai harta, tapi tidak mencukupi kebutuhannya, seperti setiap hari butuh Rp10.000, namun penghasilannya hanya Rp7.500 perhari.
c.    ‘Amil, yaitu orang yang diangkat oleh pemerintah setempat untuk mengambil, mengumpulkan dan membagikan zakat kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).
d.   Mu’allaf, ada dua:
1)   Pimpinan kafir yang diharapkan masuk islam atau dikhawatirkan tindakan buruknya.
2)   Orang yang baru masuk islam dan imannya masih lemah.
e.    Riqōb, yaitu budak yang telah menerima akad kitābah (dimerdekakan dengan cara membayar cicilan yang telah disepakati oleh pihak budak dan majikannya).
f.     Ghōrim (orang yang punya hutang), ada dua:
1)   Hutang untuk kepentingan umum, seperti membangun masjid.
2)   Hutang untuk kepentingan pribadi, seperti untuk membiayai anak yang belajar ilmu syara‘.
g.    Sabīlillāh, yaitu prajurit perang membela agama Allah swt yang tidak dapat gaji dari pemerintah.
h.    Ibnu Sabīl, yaitu orang yang sedang bepergian untuk selain maksiat dan kehabisan bekal.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan setiap imam madzhab menyebutkan bahwasanya pembagian zakat itu harus disalurkan kepada para mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) yang jumlahnya ada delapan golongan tersebut. Sedangkan golongan yang lain tidak berhak untuk menerimanya seperti misalnya zakat untuk membangun masjid, mushalla, atau untuk membangun sarana kepentingan umum.

C.  Hukum Penyaluran Zakat untuk Pembangun dan Pemugaran Masjid
Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pembangunan masjid, madrasah-madrasah atau pondok-pondok, karena semua itu termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
Tidak boleh, karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dijalan Allah (Sabilillah). Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah dhaif (lemah)
Sebagaimana keterangan dalam kitab :
1.    Rahma al-Ummulah
وَتَّفَقُو عَلىَ مَنَعِ الْاِ حْرَاجِ لِبِنَا ءِ مَسْجِدٍ أَو تَكْفِيْنِ
Para ulama sepakat atas larangan mengguanakan hasil zakat untuk membangun masjid atau mengkhafani mayit.”
Para imam madzhab sepakat tentang tidak bolehnya mengeluarkan zakat unuk membangun masjid atau mengkafani mayit.[4]
2.    Al –Tafsir al-Munir (Muroh Labid)
قَلَ الْقَفَّلَ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهاءِ اَ نَّهُمْ اَجَا زُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ اليَ جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتَ وَبِنَاءِ الْحُصُوْنِ وَ عِمَارَةِ الْمَسْجِدِ لأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى فِي سَبِيْلِ اللهِ عَامٌ فِي الْكُلِ
Imam al-Qaffal mengutip dari sebagian ulama fiqih bahwasannya mereka memperbolehkan penggunaan hasil sedekah/zakat bagi semua jalur kebaikan, seperti pengkafanan mayit, pembangunan benteng dan pembangunan masjid, karena firman allah ‘Fi sabillahi’ bersifat umum mencakup keseluruhan.”[5]
Allah telah menjelaskan dalam Al-Quran, semua golongan yang berhak menerima zakat. Yang berhak menerima ini telah ditetapkan dan karena itu tidak boleh memberikan zakat kepada selain mereka, yang menjadi sebab polemik apakah masjid berhak menerima zakat ataukah tidak, adalah kalimat fi sabilillah. Sehingga timbullah pertanyaan apakah pembangunan masjid termasuk fi sabilillah ataukah tidak? Dan bolehkah menggunakan zakat untuk pembangunan dan pembugaran masjid.[6]
Dr. Khalid Al-Musyaiqih menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang cakupan makna fi sabilillah, makna “Fi sabilillah” diperselisihkan ulama tentang tafsirnya :[7]
1.     Pendapat pertama, menurut Imam Malik makna fi sabilillah adalah semua yang terkait dengan jihad secara umum baik personel maupun senjata.
2.     Pendapat kedua, menurut Imam Ahmad dan Imam Syafi’i makna fi sabilillah adalah orang yang berangkat jihad, sementara mereka tidak mendapat gaji tetap dari negara atau baitul maal.
3.     Pendapat ketiga, makna “fi sabilillah” adalah semua kegiatan kebaikan, baik itu jihad maupun yang lainnya, seperti membangun masjid, sekolah islam, memperbaiki jalan, membuat sumur atau lainnya.
Selanjutnya Dr. Al-Musyaiqih menguatkan pendapat bahwa “fi sabilillah” tidak tepat jika dimaknai semua kegiatan kebaikan untuk umat, karena 2 alasan, yaitu :[8]
a.     Jika zakat boleh diberikan untuk semua kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, mencetak buku, atau semacamnya, tentu akan ada banyak hak orang fakir miskin dan enam golongan lainnya yang berkurang dan menjadi tersita
b.     Allah telah membatasi delapan golongan yang berhak mendapat zakat. Jika kalimat fi sabilillah dimaknai seluruh jalan kebaikan, tentu cakupannya akan sangat luas. Karena kegiatan sosial keagamaan sangat banyak. Pemaknaan yang terlalu luas semacam ini akan menghilangkan fungsi pembatasan seperti yang disebutkan di surat At-Taubah di atas.

D.  Hikmah dan Manfaat Zakat
Zakat mengandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia,baikyang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya (mustahiq), harta yang di keluarkan zakatnya,maupun bagi masyarakat keseluruhan. Hikmah dan manfaat zakat antara lain:[9]
1.    Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya.
2.    Karena zakat merupakan hak mustahiq, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baikdapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka , ketika mereka melihat orang kaya yang memiliki harta cukup banyak.
3.    Sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah.
4.    Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan saran maupun prasarana yang harus dimiliki umat islam.
5.    Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor.
6.    Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan.
7.    Dorongan ajaran Islam yang begitu kuat kepada orang-orang yang beriman untuk berzakat, berinfak, dan bersedekah menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja dan berusaha.





BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu (keberkahan), al-namma (pertumbuhan), ath-thaharu (kesucian), dan ash-sholahu (keberesan). Sedangkan secara istilah, zakat adalah bagian dari harta yang wajib di keluarkan oleh seorang muslim yang di serahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan syaarat-syarat tertentu.
Menurut Al-Mawardi zakat adalah nama bagi pengambilan tertentu dari harta yang tertentu menurut sifat-sifat yang tertentu untuk di berikan kepada golongan yang tertentu. Sedangkan menurut Asy-Syaukani, zakat adalah memberi suatu bagian dari harta yang sudah sampai nishab kepada orang fakir dan sebagainya, yang tidak bersifat dengan sesuatu halangan syara’ yang tidak membolehkan kita memberikan kepadanya.
Zakat māl (emas, perak, dagangan, hewan, biji-bijian, buah-buahan dan hasil tambang) dan zakat fitrah, harus diberikan kepada golongan yang berhak menerima zakat yang termaktub dan dijelaskan dalam firman Allah swt dalam surat at-Taubah ayat 60:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة : 60)
Artinya:“Sesungguhnya zakat-zakat hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat (amil), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk orang-orang yang menuju jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui dan bijaksana.” (QS at-Taubah : 60)
Selanjutnya Dr. Al-Musyaiqih menguatkan pendapat bahwa “fi sabilillah” tidak tepat jika dimaknai semua kegiatan kebaikan untuk umat, karena 2 alasan, yaitu: a) Jika zakat boleh diberikan untuk semua kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, mencetak buku, atau semacamnya, tentu akan ada banyak hak orang fakir miskin dan enam golongan lainnya yang berkurang dan menjadi tersita; b) Allah telah membatasi delapan golongan yang berhak mendapat zakat. Jika kalimat fi sabilillah dimaknai seluruh jalan kebaikan, tentu cakupannya akan sangat luas. Karena kegiatan sosial keagamaan sangat banyak. Pemaknaan yang terlalu luas semacam ini akan menghilangkan fungsi pembatasan seperti yang disebutkan di surat At-Taubah di atas.
Hikmah dan manfaat zakat antara lain: a) Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya; b) Karena zakat merupakan hak mustahiq, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baikdapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka , ketika mereka melihat orang kaya yang memiliki harta cukup banyak; c) Sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah dan masih banyak hikmah dan manfaat zakat yang lainnya.





DAFTAR PUSTAKA

Didin, Hafiduddin. 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani
Mahfudh dan Ahkamul Fuqaha. 2011. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Keputusan Muktamar NU 2010). Surabaya: Khalista
Mannan, Abdul. 2007. Fiqh Lintas Madzhab Juz 2. Kediri: Lembaga Ta’lif Kediri
Supriadi, Dedi. 2008. Perbandingan Mazhab dengan Pendakatan Baru. Bandung: Cv. Pustaka Setia
Syaikh Muhammad. 2014. Fikih Empat Madzhab. Bandung: Hasyimi
Syarifuddin, Anir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana




[1] Didin Hafidhuddin. Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002) h. 56
[3] Abdul Mannan. Fiqh Lintas Madzhab Juz 2 (Kediri: Lembaga Ta’lif Kediri, 2007) h. 60-68
[4] Syaikh al-‘Allamah Muhammad. Fikih Empat Madzhab (Bandung: Hasyimi, 2014) h 146
[5] Mahfudh dan Ahkamul Fuqaha. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Keputusan Muktamar NU 2010) (Surabaya: Khalista, 2011) h. 8
[6] Dedi Supriadi. Perbandingan Mazhab dengan Pendakatan Baru (Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2008) h. 78
[7] MUI. Fatwa Bidang Ibadah. (Jakarta: 2014) h. 54-59
[9] Syarifuddin, Anir. Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Kencana, 2003) h. 39

Related Posts:

About Me

Foto Saya
Nama Ikbal Amrulloh, lahir di kota Brebes pada tanggal 8 maret 1997. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan strata satu program study Pendidikan Agama Islam di IAIN Syekh nurjati, Cirebon lulus tahun 2019. Sekarang Penulis mengajar di SDN Cimohong 03.