Makalah Ta'zir, Qishos dan Kaitannya Dengan Hukum Pemerintah

TA’ZIR DAN QISHAS KAITANNYA DENGAN HUKUM PEMERINTAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah Fiqh Sosial
pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Smt. III
Tahun Akademik 2016/2017





Disusun Oleh:
               1. Ikbal Amrulloh (1415101056)

Dosen Pengampu:
Drs. A. Syathori, M.Ag.

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2016






KATA PENGANTAR
            Puji syukur Alhamdulillah, Penulis panjatkan puji syukur kepada Allah Swt. karena atas qudrat, hidayah dan ma’unah-Nya, penulis dapat membuat makalah ini sesuai waktu yang ditentukan. Tidak lupa shalawat serta salam semoga Allah tetap curah limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, kepada keluarganya, para sahabatnya, sampai kepada kita selaku umatnya.
            Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. A. Syathori, M.Ag selaku dosen mata kuliah Fiqh Sosial, serta kepada teman-teman semuanya yang telah mensuport baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ta’zir dan Qishas Kaitannya Dengan Hukum Pemerintah”.
            Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kesalahan, baik penulisan maupun isinya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk memperbaiki makalah kedepannya.
            Akhir kata, penulis berharap semoga adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya  dan bagi pembaca pada umumnya.


Cirebon, 27 Desember 2016
                                 Penulis


i


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar Isi  ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A.    Latar Belakang ...................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................. 1
C.     Tujuan Penulisan ................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 2
1.      Ta’zir
A.    Pengertian Ta’zir ................................................................................ 3
B.     Hadits Mengenai Ta’zir ..................................................................... 4
C.     Dasar Hukum Disyari’atkannya Ta’zir .............................................. 7
D.    Jenis hukuman Ta’zir ......................................................................... 9
E.     Pendapat Imam Madzhab tentang Ta’zir ......................................... 13
2.      Qishas
A.    Pengertian Qishas ............................................................................. 13
B.     Hukum dan Dasar Hukum Qishas .................................................... 14
C.     Macam-macam dan Syarat Qishas ................................................... 17
D.    Pelaksanaan Qishas .......................................................................... 18
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 20
A.    Kesimpulan ...................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 21


ii



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Hukum pidana atau Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya Rosulullah Saw. Oleh karena nya pada zaman Rosulullah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemeritah selaku penguasa yang sah atau Ulil Amri.
            Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan faham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum terssebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dalam kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskaan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum serta jarima-jarimah yang meliputinya.
Ada tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu Hudud, Qishas atau Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikaegorikan sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan nashnya dalam Al-qur’an. Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan diterima oleh si tersangka atau pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerinah atau penguasa mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah Swt.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan  Ta’zir dan Qishas?
2. Apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir?
3. Apa dasar hukum disyari’atkannya Ta’zir dan Qishas?
4. Apa saja jenis hukuman ta’zir?
5. Apa saja syarat dan macam Qishas?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami apa itu jarimah ta’zir.
2. Untuk menambah wawasan mahasiswa tentang apa saja dasar hukum disyaria’kannya hukuman Ta’zir dan Qishas.
3. Untuk mengetahui dan mamahami hadits-hadits yang berkaitan dengan jarimah ta’zir.
4. Untuk memahami berbagai jenis hukuman Ta’zir.





BAB II
PEMBAHASAN
1. TA’ZIR
A. Pengertian Ta’zir
            Menurut bahasa lafadz ta’zir berasal dari kata “Azzara” yang berarti menolak atau mencegah, serta berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantu, menguatkan dan menolong.[1] Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, serta pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatannya. Pengertian ini sesuai dengan pendapat Abdul Qadir Audah[2] dan Wahbah Zuhaili.[3]
            Menurut istilah ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut:
واتعزير تادب على ذنوب لم تشرع فيها العدود
            “Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara”.[4]
            Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetntukan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa jugaa untuk jarimah (tindak pidana).
            Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukuran atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tetinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’at mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku.

B. Hadits Yang Berkaitan Dengan Hukum Ta’zir
            Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah RA, sebagai berikut:
عن أبي بردة الانصارى أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:لا يجلد احد فوق عشرة أسواط الا في حد من حدود الله (رواه مسلم)
            Artinya: “Dari Abu Burdah Al-Anshari R.A, berkata: dia mendengar Rosulullah Saw bersabda: “Seorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya." (HR. Muslim)[5]
Substansi Hadits:
1.      Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulannya seperti 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (Ta’zir).
2.      Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu diserahkan kepada pertimbangan hakim
3.      Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadits di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan ta’zir. Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lenih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum-minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi, orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syari’at yang telah jelas hukumannya, misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syari’at yang disebut dengan Hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.[6]
4.      Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syari’at. Akan tetapi had yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan mashlahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.[7]
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA, berkata:
عن عاعشة أن النبي قال اقيلوا ذوى هيئات عسراتهم الا الحدود (رواه أحمد وابو داوود والنسائ والبيهاقى)
            Artinya: “Dari ‘Aisyah RA berkata, bahwasahnya Nabi Saw pernah bersabda: “Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.”(HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Baihaqi)[8]
Substansi Hadits:
            Maksudnya, bahwa orang-orang yang baik, orang-orang yang besar, orang-orang yang ternama kalau tergelincir ke dalam sesuatu hal, maka ampunkanlah. Karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
            Mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya. Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukkan kepada para pemimpin atau para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hali itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpim menyerahkan wewenang kepada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.[9]
            Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah ta’zir dan hukum ta’zir antara lain tindakan sayyidina Umar bin Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar kemudian memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: “Asah dulu pisau itu”.[10]
            Hadits yang diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim:
عن بهز إبن حكيم عن أبي عن جدّه أن النبي صلى الله عليه وسلم حبس في التهمة (رواه ابو داوود والترمذى والنسائ والبيهاقى وصحيحه الحاكم)
            Artinya: “Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi Saw pernah menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan.” (HR Abu Daud, Turmudzi, An-Nasa’i dan Baihaqi serta dishahkan oleh Hakim)[11]
Substansi Hadits:
            Hadits ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang karena diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Perkataan “Karena suatu tuduhan” itu menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman, juga sebagai membersihkan diri.[12]

C. Dasar Hukum Disyari’atkan Ta’zir
            Ta’zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara’ atau hukuman yang siderahkan kepada keputusan hakim. Dasar hukum ta’zir adalah pertimbangan kemashlahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya mendidik, maka bisa dikenakkan pada anak kecil.
            Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjdi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.
            Bentuk sanksi ta’zir bisa beragam, sesuai keputusan hakim. Namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat berulang-berulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan dan publikasi.
            Lihat QS. Al-Maidah ayat 12 dan QS. Al-A’raf ayat 157
ولقد اخذ الله ميثاق بني اسرائيل، وبعثنا منهم اثني عشر نقيبا، وقال الله انّي معكم، لئن اقمتم الصلوة واتيتم الزكوة وامنتم برسلي وعزرتموهم واقرضتم الله قرضا حسنا لاكفّرنّ عنكم سيّاتكم ولادخلنّكم جنّت تجرى من تحتها الانهر، فمن كفر بعد ذلك منكم فقد ضلّ سواء السبيل (١٢)
            Artinya: “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rosul-rosul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu, dan sesungguhnya kamu akan kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air di bawahnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS.Al-Maidah: 12)
الذين يتبعون الرسول النبيّ الامّيّ الذي يجدونه مكتوبا عند هم في التورىة والانجيل يأمرهم بالمعروف وينههم عن المنكر ويحلّ لهم الطّيّبت ويحرّم عليهم الخبئث ويضع عنهم اصرهم والاغلل التي كانت عليهم، فالذين امنوا به وعزّروه ونصروه واتبعوا النور الذي انزل معه، اولئك هم المفلحون (١٥٧)
            Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rosul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya akan memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157)
            Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1.      Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau keluarga sendiri.
2.      Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’, tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dalam timbangan.
3.      Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada Ulil Amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[13]

D. Jenis-Jenis Hukuman Ta’zir
            Dalam menentukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:
1.      Hukuman Mati
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum islam adalah hukuman yang bersifat mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bid’ah (pembuat fitnah) atau residivis yang berbahaya. Oleh karena itu hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan seluruhnya kepada hakim.
2.      Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir. Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemashlahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah
3.      Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas. Pertama, hukum kawalan terbatas, batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama berbeda pendapat, ulama Syafi’iyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka menyamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan mashlahat. Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakkan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
4.      Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah) dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha tidak lebih dari tiga hari.
5.      Hukuman Pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubi’ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. Sehingga turunlah firman Allah surat At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
وعلى الثلثة الذين خلفوا، حتى اذا ضاقت عليهم الارض بما رحبت وضاقت عليهم انفسهم وظنّوا ان لا ملحا من الله الا اليه، ثمّ تاب عليهم ليتوبوا، ان الله هو التوّاب الرحيم (١١٨)
            Artinya: “Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat”. (QS At-Taubat: 118)
6.      Hukuman Ancaman, Teguran dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku megulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghina ibunya. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
7.      Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan dua kali lipat harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakkan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial dapat dijadikan hukuman ta’zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.

E. Pendapat Imam Madzhab
            Tersebut di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab RA pernah menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tempat penjual khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyari’atkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.[14] Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa hukum ta’zir itu tidak wajib.

2. QISHAS
A. Pengertian Qishas
         Kata qishas (قصاص) berasal dari bahasa Arab yang berarti “Mencari jejak”, seperti “al-qasas”. Sedangkan dalam sitilah hukum islam, maknanya adalah pelaku kejahatan yang dibalas seperti perbuatannya, apabila ia membunuh maka ia dibunuh dan apabila ia memotong anggoa tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong.[15] Berdasarkan tafsiran Al-qur’an Qishas ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishas itu tidal dilakukan, bila yang membunuh, mendapat kemanfa’atan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diyat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diyat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh dan yang membunuh hendaknlah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nagguhkannya. Apabila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diyat, maka terhadapnya di dunia diambil qishas dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
         Sedangkan syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefinisikan dengan “Al-Qishas adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.”
         Jadi dapat kita simpulkan bahwa qishas adalah pembalasan serupa yang dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak penganiayaan atau kejahatan yang merugikan orang lain sesuai dengan perbuatan atau pelanggarannya, baik itu terbunuh, melukai, merusak anggota badan, atau menghilangkan manfaatnya. Atau qishas adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip dengan istilah “utang nyawa dibayar dengan nyawa”.

B. Hukum dan Dasar Hukum Qishas
         Adapun hukum qishas terdapat beberapa macam diantaranya:
1.      Haram
Yaitu bagi orang yang membunuh seseorang yang tidak bersalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-nisa ayat 93:
ومن يقتل مؤمنا متعمّدا فجزاؤه جهنّم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه واعدّ له عذابا عظيما (٩٣)
Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-nisa: 93)
2.      Menanggung dosa orang yang mengikuti pembunuhan
Yaitu bagi orang yang mendahului melakukan pembunuhan. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda: “Tidaklah seseorang dibunuh kecuali sebagai pertanggung jawaban darahnya yang mengalir atas anak adam yang pertama, karena sesungguhnya dialah yang mula-mula melakukan pembunuhan
3.      Imannya Tanggal
Yaitu bagi orang-orang yang melakukan pembunuhan secara sengaja. Hal ini dijelaskan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda: “Tidaklah seseorang akan berzina ketika melakukannya dia sebagai orang mukmin, dan tidaklah seseorang akan mencuri ketika melakukannya dia sebagai seorang mukmin, dan tidaklah seorang meminum minuman keras ketika dia melakukannya dia sebagai seorang mukmin, dan tidak pula ketika seorang akan membunuh ketika dia melakukannya dia seorang mukmin”.
4.      Pada Hari Kiamat Perkara Yang Diadili Pertama adalah Perkara Pembunuhan
Sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Disebutkan bahwa Nabi pernah bersabda: “Mula-mula akan diputuskan hukumannya (diadili) oleh Allah adalah perkara pembunuhan”.
Adapun dasar hukum mengenai Qishas yaitu:
a.       QS Al-Baqarah ayat 178-179
يأيها الذين أمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى، الحرّ بالحرّ والعبد بالعبد والانثى بالانثى، فمن عفي له من اخيه شيء فاتّباع بالمعروف واداء اليه بإحسان، ذلك تخفيف من ربّكم ورحمة، فمن اعتدى بعد ذلك فله عذاب اليم (١٧٨) ولكم في قصاص حيوة ياولى الالباب لعلّكم تتّقون (١٧٩)    
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al-Baqarah: 178-179)
b.      QS Al-Isra’ ayat 33
ولا تقتلوا النفس التي حرّم الله الا بالحق، ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليّه سلطنا فلا يسرف في القتل، انه كان منصورا (٣٣)
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan barangsiapa dibunuh secara dzalim, maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (QS Al-Isra’: 33)
c.       QS Al-Maidah ayat 45
وكتبنا عليهم فيها انّ النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسنّ بالسنّ، والجروح قصاص، فمن تصدّق به فهو كفّارة له، ومن لم يحكم بما انزل الله فاولئك هم الظلمون (٤٥)
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dibalas dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim”. (QS Al-Maidah: 45)
d.      Hadits Nabi Muhammad Saw
Yang artinya: “Tidak halal darah seorang muslim yang bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu dari tiga orang yaitu seorang duda yang berzina, seorang pembunuh disebabkan oleh pembunhannya, dan orang yang meninggalkan agamanya yang berpisah terhadap jama’ahnya”.
e.       Kewajiban Qishas merupakan Ijma’ umat islam
f.       Rasional, secara akal pasti menuntut adanya Qishas

C. Macam-macam Qishas dan Syaratnya
1. Qishas Jiwa
         Yaitu hukum pembunuhan bagi tindak pidana pembunuhan. Didalamnya terdapat tiga jenis pembunuhan yaitu pembunuhan sengaja, seperti sengaja dan pembunuhan tidak seengaja.[16]
2. Qishas anggota badan
         Yakni hukum qishas atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan atau menciderainya.
         Adapun syarat-syarat penetapan hukum qishas bagi pembunuhan atau qishas jiwa yaitu:
a.       Orang yang dibunuh adalah orang yang darahnya dilindungi
b.      Pelaku pembunuhan sudah baligh atau berakal
c.       Pembunuh dalam kondisi bebas memilih
d.      Pembunuh bukan orang tua dari yang terbunuh
e.       Ketika terjadi pembunuhan, pembunuh dan yang terbunuh sederajat (dalam hal agama dan kemerdekaan)
f.       Tanpa orang lain yang ikut membantu diantara orang-orang yang tidak wajib hukum qishas atasnya.[17]
Sedangkan dalam syarat qishas untuk qishas anggota badan yaitu: Pertama, tidak berlebihan; Kedua, adanya kesamaan dalam nama dan kondisi; Ketiga, adanya kesamaan antara kedua belah pihak pelaku kejahatan dan korban dalam segi kesehatan dan kesempurnaan. Adapun dalam buku Sayyid sabiq syaratnya yaitu: Baligh, berakal, melakukan kejahatan dengan sengaja, darah orang yang menjadi korban kejahatan setara dengan darah pelaku kejahatan.

D. Pelaksanaan Hukum Qishas
            Pada dasarnya qishas dilaksanakan dengan eksekusi mati terhadap pembunuh dengan cara diterapkan saat dia membunuh karena itu merupakan konsekuensi dari kesetaraan dan kesamaan. Hanya saja dengan demikian ini akan membuat ketersiksaan yang lama bagi bagi pihak yang dijatuhi eksekusi mati. Maka dari itu eksekusi menggunakan pedang lebih efektif baginya. Rosulullah pernah meremukkan orang yahudi dengan batu, sebagaimana beliau meremukkan kepada seorang waita dengan batu. Ulama telah memberi batasan dalam hal ini, yaitu hanya terkait jika sebab yang diterapkan dalam tindak pembunuhan boleh dilakukan. Adapun jika tidak dilakukan, seperti orang yang membunuh dengan sihir karena sihir dilarang. Sebagian penganut madzhab syafi’i mengatakan jika dia membunuh dengan perantara khamr, maka dia dieksekusi mati dengan cuka. Ada yang berpendapat bahwa acuan kesetaraan gugur. Penganut madzhab hanafi dan madzhab hambali berpendapat bahwa qishas tidak dilaksanakan kecuali dengan pedang, berdasarkan hadits Rosulullah “Tidak ada qishas kecuali dengan pedang dan karena Rosulullah melarang keserupaan”.[18]
            Adapun ketentuan tentang pembayaran diyat bagi orang yang melakukan pembunuhan secara sengaja harus dibayar dengan tunai pada waktu itu juga. Sedangkan bagi yang melakukan secara tidak sengaja dan tersalah bisa dibayar selama tiga tahun dengan cara diangsur setiap bulannya sebanyak sepertiganya.[19]





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita untuk dikaji lebih mendalam, baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi hingga pendapat para fuqoha tentang hal-hal yang berkaitan dengan jarimah ta’zir.
            Ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini juga memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim atau pemerintah.
            Rosulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tunjukkan untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar perbuatannya kembali.
            Adapun hikmah dan tujuan hukuman dalam tindak pidana dalam hal ini kaitannya jarimah baik itu qishas atau hudud atau diyat, maupun ta’zir yang diterapkan dalam jinayah Islam, yaitu untuk Memelihara jiwa, Melindungi keutuhan keluarga yang merupakan unsur utama masyarakat, Menjaga reputasi dan kehormatan manusia, Memelihara kemashlahatan umum dan menegakkan akhlak terpuji, Membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama manusia dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban masing-masing dan Mencegah terjadinya pelanggaran, sehingga kedamaian akan dirasakan oleh segenap masyarakat serta Merupakan tindakan edukatif terhadap orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan peraturan.



DAFTAR PUSTAKA
‘Adhim, Sa’id Abdul. 2007. Kafarah Penghapus Dosa. Malang: Cahaya Tauhid Press.
Al-Fauzan, Saleh dkk. 2005. Terjemahan Al-Mulakhasul Fiqh. Jakarta: Gema Insani.
As-Shiddieqy, Hasbi. 2001. Koleksi Hadits-Hadits Hukum. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Juz 9.
Audah, Abd Al-Qadir. 1996. At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy Juz I. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi.
Bahreish, Hussein. 1983. Terjemahan Hadits Shahih Muslim 3. Jakarta: Widjaya.
Bahreish, Hussein Khalid. 1987. Himpunan Hadits Shahih Muslim. Surabaya: Al-Ikhlas.
Hajar, Al-Asqalany Ibnu. 2002. Terjemahan Bulughul Maram. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro.
Hamdy, Mu’ammal dkk. 2005. Nailul Aufar. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Labib MZ. 2006. Risalah Fiqh Islam. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Mawardi, Abu Al-Hasan Ali. 1996. Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Beirut: Dar Al-Fikr.
Muhammad, Abubakar. 2003. Terjemahan Subulussalam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh Sunnah Jilid 4. Jakarta: Cakrawala Publishing.
Unais, Ibrahim. 1993. Al-Mu’jam Al-Wasith Juz II. Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Juz VI. Damaskus: Dar Al-Fikr.





[1] Ibrahim Unais, et. al. Al-Mu’jam Al-Wasith Juz II (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, 1993) h. 598.
[2] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy Juz I (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1996) h. 81.
[3] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Juz VI (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989) h. 197.
[4] Abu Al-Hasan Ali Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996) h. 236.
[5] Hussein Bahreish, Terjemahan Hadits Shahih Muslim 3(Jakarta: Widjaya, 1983) h. 255
[6] Hussein Khalid Bahreish, Himpunan Hadits Shahih Muslim (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987) hh. 241-242
[7] Saleh Al-Fauzan dkk, Terjemahan Al-Mulakhasul Fiqh (Jakarta: Gema Insani, 2005) h. 847
[8] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemahan Bulughul Maram (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002) Cet  26, hh. 576-577
[9] Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam (Surabaya: Al-Ikhlas, 2003) h. 158
[10] Abdul Qadir Audah, op. cit. hh. 155-156
[11] Hasbi As-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) Juz 9, h. 202
[12] Mu’ammal Hamdy dkk, Nailul Aufar (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2005) Juz 6, hh. 262-263
[13] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 255
[14] Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa (Malang: Cahaya Tauhid Press, 2007) h. 76
[15] Labib MZ, Risalah Fiqh Islam (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2006) h. 576
[16] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4 (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009) h. 392
[17] Ibid, Sayyid Sabiq. h. 404
[18] Ibid, Sayyid Sabiq. hh. 418-419
[19] Op. cit,. Labib MZ. h. 586

Related Posts:

About Me

Foto Saya
Nama Ikbal Amrulloh, lahir di kota Brebes pada tanggal 8 maret 1997. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan strata satu program study Pendidikan Agama Islam di IAIN Syekh nurjati, Cirebon lulus tahun 2019. Sekarang Penulis mengajar di SDN Cimohong 03.